Rabu, 23 Maret 2011

Sasirangan

Sasirangan merupakan batik khas Kalimantan Selatan. Kata “Sasirangan” berasal dari kata sirang yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah jahit menjahit dismoke/dijelujur. Kalau di Jawa disebut jumputan. Kain sasirangan dibuat dengan memakai bahan kain mori, polyester yang dijahit dengan cara tertentu. Kemudian disapu dengan bermacam-macam warna yang diinginkan, sehingga menghasilkan suatu bahan busana yang bercorak aneka warna dengan garis-garis atau motif yang menawan.



Menurut sejarah sekitar abad XII sampai abad ke XIV pada masa kerajaan Dipa atau kerajaan Banjar, cerita rakyat atau sahibul hikayat, kain sasirangan yang pertama dibuat yaitu tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut banyu. Menjelang akhir tapanya rakit Patih tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengan suara seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di Banua ini. Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi / padiwaringin. Itulah kain calapan / sasirangan yang pertama kali dibuat dan sering disebut oleh masyarakat sebagai batik sandang yang disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.
Kain sasirangan dipercaya mempunyai kekuatan magis yang dapat digunakan untuk mendukung pengobatan(tatamba)khususnya mengusir roh-roh jahat. Selain dapat menyembuhkan, kain ini juga diyakini dapat menjadi alat “pelindung” badan dari gangguan makhluk halus. Agar bisa menjadi alat pengusir roh jahat atau pelindung badan, pembuatan kain Sasirangan biasanya berdasarkan pesanan (pamintaan). Berdasarkan hal tersebut, orang Kalimantan Selatan menyebut Sasirangan sebagai kainpamintan (permintaan). Bentuk awal kain Sasirangan cukup sederhana, seperti ikat kepala (laung), sabuk dan tapih bumin(kain sarung) untuk kaum lelaki; dan  selendang, kerudung, udat (kemben), dankekamban (kerudung) untuk kaum perempuan.
Mardhika (2007), memaparkan bahwa warna-warna tertentu dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang. Berikut ini dikutipkan paparan Mardhika.
1. Merah, warna ini dapat membantu mengurangi sakit kepala, karena warna ini mampu meningkatkan peredaran adrenalin di dalam tubuh. Jika sakit kepala letakanlah kain lembab berwarna merah di atas mata.
2. Biru, warna ini dapat membantu mengurangi tekanan psikologis. Jika mengalami tekanan psikologis maka fokuskanlah pandangan mata ke arah segala sesuatu yang berwarna biru.
3. Merah jambu, warna ini dapat membantu mengurangi penyakit sulit tidur (insomnia), karena warna ini mampu menampilkan suasana santai dan romantik.
4. Hijau, warna ini dapat membantu mengurangi rasa letih, karena warna ini mampu menciptakan suasana harmoni dalam tubuh manusia.
Etnis Banjar di Kalimantan Selatan sesungguhnya sudah sejak ratusan tahun yang lalu meyakini bahwa di balik warna-warna tertentu tersembunyi kekuatan magis tertentu yang dapat dijadikan sebagai sarana penyembuhan. Keyakinan itulah yang pada zaman dahulu kala menjadi dasar diciptakannya kain sasirangan.
Kain sasirangan adalah sejenis kain yang diberi gambar dengan corak dan warna tertentu yang sudah dipolakan secara tradisional menurut citarasa budaya yang khas etnis Banjar di Kalsel.
Secara etimologis istilah sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah kata kerja. Sa rtinya satu dan sirang artinya jelujur. Ini berarti sasirangan artinya dibuat menjadi satu jelujur.
Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warni berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara sosial budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Pada zaman dahulu kala kain sasirangan diberi warna sesuai dengan tujuan pembuatannya, yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang.
1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa)
2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur (imsonia)
3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke)
4. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal
5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri, dan kolera)
6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress)
Menurut Seman (2007:6), pada zaman dahulu kala kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna yang dibuat dari bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah, daun, kulit, atau umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam di sekitar tempat tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri.
Ada 6 warna utama kain sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud, yakni.
1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak
2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok merah, atau kesumba (sonokeling, pen)
3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun pudak atau jahe
4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar
5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa Banjar Ramania, pen)
6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan
Supaya warnanya menjadi lebih tua, lebih muda, dan supaya tahan lama (tidak mudah pudar), bahan pewarna di atas kemudian dicampur dengan rempah-rempah lain seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka, atau terusi.
Perkembangan zaman telah mengubah fungsi kain Sasirangan dalam masyarakat Kalimantan Selatan. Nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya seolah-olah ikut memudar dengan mode-mode globalisasi. Globalisasi menjadikan kain ini tidak hanya mengalami proses desakralisasi sehingga berubah menjadi pakaian sehari-hari, tetapi juga  semakin dilupakan. Kain Sasirangan seolah-olah semakin tercerabut dari hati sanubari masyarakat Kalimantan Selatan.
Upaya untuk melindungi budaya Banjar ini, telah diakui oleh pemerintah melalui Dirjen HAKI Departemen Hukum dan HAM RI beberapa motif sasirangan sebagai berikut :
  1. Iris Pudak
  2. Kambang Raja
  3. Bayam Raja
  4. Kulit Kurikit
  5. Ombak Sinapur Karang
  6. Bintang Bahambur
  7. Sari Gading
  8. Kulit Kayu
  9. Naga Balimbur
  10. Jajumputan
  11. Turun Dayang
  12. Kambang Tampuk Manggis
  13. Daun Jaruju
  14. Kangkung Kaombakan
  15. Sisik Tanggiling
  16. Kambang Tanjung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar